Pantun dikenal sebagai sebuah bagian sastra yang sangat indah. Berciri khas memiliki sajak ABAB, adanya kemiripan bunyi pada bagian akhir ...
Pantun dikenal sebagai sebuah bagian sastra yang sangat indah. Berciri khas memiliki sajak ABAB, adanya kemiripan bunyi pada bagian akhir antara baris 1 dan 3 ; baris 2 dan 4. Mungkin ini telah dikenal baik oleh kita semua.
Tak hanya di Minangkabau, pantun jua dikenal pada budaya melayu dan budaya Betawi. Sekilas sebagian orang melihat pantun ini sama saja. Tetapi harus diketahui, pantun Minang merupakan hal yang lebih sulit pada faktanya.
Sangat mudah bagi kita untuk membuat sebuah pantun, yang penting ada kesamaan bunyi antara baris 1,3 dan baris 2,4. Tidak hanya itu saja untuk pantun Minang yang sesungguhnya. Jika ditelusuri lebih mendalam, pantun Minang yang sesungguhnya dalam dengan bahasa kiasan (kieh). Bukan pantun yang hanya ‘tembak tupai’.
Perhatikan sebuah kutipan pantun di bawah ini :
Tapi ditinjau lebih mendalam, kekayaan kiasan dan imajinasi dalam menyampaikan mana yang lebih cerdas? Bukan bermaksud mengatakan pantun pertama tidak cerdas, kita berbicara tentang nilai dari pantun tersebut. Kedalaman serta kemampuan si pembaca agar lebih paham sesuatu yang dikiaskan jauh lebih tinggi pada pantun ke dua.
Di sinilah warisan pendidikan dan cara berpikir yang dalam diajarkan dalam budaya Minangkabau. Bukan menyampaikan sesuatu dengan langsung, penuh kiasan,dan dibutuhkan level intelektualitas yang bagus untuk memahami.
Terlihat jelas bagaimana seharusnya seorang Minangkabau harus bersikap dan menyampaikan sesuatu. Halus, tidak sembarangan. Bukan blak-blak—an.
Penggunaan pantun semacam ini yang sepertinya telah memudar dalam sekarang. Banyak orang yang katanya bisa berpantun. Tetapi, khusus untuk orang Minangkabau apakah kita sudah benar-benar bisa berpantun dengan hakikat pantun yang sesungguhnya, bernilai kias yang tinggi? Terakhir bisa dipahami bagaimana generasi muda Minang diajarkan untuk arif dalam menangkap makna sesuatu dalam sebuah pantun :
Tak hanya di Minangkabau, pantun jua dikenal pada budaya melayu dan budaya Betawi. Sekilas sebagian orang melihat pantun ini sama saja. Tetapi harus diketahui, pantun Minang merupakan hal yang lebih sulit pada faktanya.
Sangat mudah bagi kita untuk membuat sebuah pantun, yang penting ada kesamaan bunyi antara baris 1,3 dan baris 2,4. Tidak hanya itu saja untuk pantun Minang yang sesungguhnya. Jika ditelusuri lebih mendalam, pantun Minang yang sesungguhnya dalam dengan bahasa kiasan (kieh). Bukan pantun yang hanya ‘tembak tupai’.
Perhatikan sebuah kutipan pantun di bawah ini :
Anak udang dipanggang saja,Bandingkan dengan pantun di bawah ini,
Hendak dipindang tidak berkunyit,
Anak orang dipandang saja,
Hendak dipinang tidak berduit.
Si Kikih tabang maraok,Kedua pantun di atas memiliki tujuan dan makna yang sama. Menyampaikan keputusasaan, putusnya percintaan anak muda karena keterbatasan.
Hinggok saraok di pasamayan,
Manangih kumbang nan patah sayok,
Bungolah nyato balarangan.
Tapi ditinjau lebih mendalam, kekayaan kiasan dan imajinasi dalam menyampaikan mana yang lebih cerdas? Bukan bermaksud mengatakan pantun pertama tidak cerdas, kita berbicara tentang nilai dari pantun tersebut. Kedalaman serta kemampuan si pembaca agar lebih paham sesuatu yang dikiaskan jauh lebih tinggi pada pantun ke dua.
Di sinilah warisan pendidikan dan cara berpikir yang dalam diajarkan dalam budaya Minangkabau. Bukan menyampaikan sesuatu dengan langsung, penuh kiasan,dan dibutuhkan level intelektualitas yang bagus untuk memahami.
Terlihat jelas bagaimana seharusnya seorang Minangkabau harus bersikap dan menyampaikan sesuatu. Halus, tidak sembarangan. Bukan blak-blak—an.
Penggunaan pantun semacam ini yang sepertinya telah memudar dalam sekarang. Banyak orang yang katanya bisa berpantun. Tetapi, khusus untuk orang Minangkabau apakah kita sudah benar-benar bisa berpantun dengan hakikat pantun yang sesungguhnya, bernilai kias yang tinggi? Terakhir bisa dipahami bagaimana generasi muda Minang diajarkan untuk arif dalam menangkap makna sesuatu dalam sebuah pantun :
Pucuak si nyali-nyali rateh
Pucuak surian mudo-mudo
Dilangik urang lalu linteh
Awak dibaliak itu pulo
Agiah Komen Gai La Sanak